Wednesday, May 18, 2011

kerajaan Islam di Jawa

1. Kerajaan Demak
Kesultanan Demak merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478, seorang putra Raja Majapahit dari istri Cina yang di hadiahkan kepada raja Palembang. Daerah Demak terletak di daerah yang bernama Bintoro. Sesuai dengan pola umum historiografi babad di tunjukan adanya suatu kontinuitas dalam genealogi sehingga peralihan kekuasaan dengan demikian dapat disahkan. Dalam tradisi lain, seperti sejarah Banten dan hikayah hasanudin, geneologi juga dikembangkan kepada nenek moyang Cina dan penguasa Palembang; sedangkan Tome pires menyebut seseorang yang berasal dari Gresik. Kalau nama-nama berbeda sekali, sebaliknya tempat asal tidak perlu saling bertentangan. Kemungkinan ada daerah Cina dalam Dinasti Demak tidak tertutup, lebih-lebih kalau di ingat bahwa pada abad XVII dan dari tradisi Jawa Barat memperkuat soal keturunan Cina yang telah memeluk agama Islam serta berasal dari Gresik. Sebelum mendirikan kerajaan sudah menjadi patih Majapahit. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara, saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah.

2.   Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan bekas pendudukan wilayah Kerajaan Demak. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Dari sini dilakukan ekspedisi ke pedalaman dan ke pelabuhan-pelabuhan lain, terutama ke Sunda Kelapa. Kota ini berhasil di taklukan pada tahun 1527. Peristiwa ini menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henri Leme, untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Hal ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kontak yang di adakan pada tahun 1522. Kemenangan Hasanudin di tandai oleh penggantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Dengan di taklukannya Jayakarta, Banten memegang peranan lebih penting serta dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya. Menurut Historiografi Banten, Hasanudin dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten. Dia kawin dengan seorang putri Demak, ialah putri Sultan Trenggana, menurut dugaan perkawinan itu terjadi pada tahun 1552. dari perkawinan ini lahirlah dua orang putra, yang tertua Maulana Yusuf dan  yang kedua Pangeran Jepara. Yang terakhir ini disebut demikian karena sebagai menantu Ratu Kali Nyamat kemudian menggantikannya sebagai penguasa Jepara. Ekspansi Banten di bawah pimpinan Hasanudin, juga di kenal dalam tradisi rakyat sebagai Pangeran Saba Kingking, kemudian mencapai Lampung yang juga penting peranannya sebagai penghasil lada. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

3.      Kerajaan Cirebon
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang. Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Menurut tradisi seperti tertera dalam historiografi tradisional pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Dalam sumber sejarah Banten namanya adalah Faletehan atau Tagaril. Menurut Pires, ayah dari Pate Rodin Sr.-lah yang mendirikan pemukiman di Cirebon itu.Seperti telah disebut di atas, Pires mengetahui bahwa di daerah pesisir Jawa Tengah antara Cirebon dan Demak ada pelabuhan Losari, Tegal, dan Semarang, ketiganya mengekspor beras. Adalah wajar apabila pada awal abad XVI ada hubungan ramai antara Demak dengan kota-kota itu dan seterusnya pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat. Sebelum ada komunikasi ini, Jawa Barat sudah memepunyai hubungan dengan Jawa Timur. Waktu itu di Priangan ada Kerajaan Pajajaran dengan pelabuhannya Sunda Kelapa di sebelah barat dan kerajaan Galuh di sebelah timur. Bahwasannya Cirebon pada awal abad XVI sudah mempunyai perdagangan ramai dan hubungan erat dengan Malaka terbukti dari keterangan Pires yang menyebut nama syahbandar koloni Cirebon di Upih Malaka, ialah Pati Kadir. Dia sangat terkemuka dan mempunyai hubungan baik dengan raja.
            Sumber-sumber tradisional, setengahnya menunjukan hubungan pendiri Cirebon dengan tokoh-tokoh agama di Jawa Timur seperti Raden Rahmat, setengahnya hubungan dengan dinasti di Pasundan, antara lain di sebutkan bahwa raja legendaris dari Pajajaran dan Galuh, Aria Bangah, adalah saudaranya.

4.    Kerajaan Mataram Islam
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.
      Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati. Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.